Minggu, 28 Oktober 2007

Ibu Kos dan Pembantunya (bag. 1)

Kriiiiiiiiiiiiiingggg…… weker ku berteriak dengan kencangnya. Aku menggeliat…. mengucek mata…. Pedih sekali rasanya. Uuhhh.. sudah jam 9 pagi, malas sekali rasanya mau ke kampus. Semalam pulang dari café rasanya penat sekali. Lalu aku bergegas bangun dan membuka pintu kamar. Sepi sekali kalo sudah jam segini. Hanya aku anak kos yang masih kuliah, 5 teman kos ku sudah berangkat bekerja semua. Aku segera mengambil handuk dan berjalan menuju ke kamar mandi.

Sesampainya di sana, kembali aku lihat Mbak Warni mengambil air untuk mengepel lantai kos-kosan. Mbak Warni adalah pembantu di kos-kosan aku. Tugasnya membersihkan ruangan di sekitar kos-kosan, tapi tidak termasuk yang di dalam kamar. “Permisi Mbak, numpang lewat”, kataku. Mbak Warni menjawab, “Silahkan Mas” sambil mematikan kran air, lalu berpindah ke kamar mandi sebelahnya. Aku lalu masuk ke kamar mandi, melepas baju dan memutar shower. Segar rasanya air ini membasuh tubuhku. Sayub-sayub aku dengar seseorang berkata sesuatu. Aku diam sejenak, sabun yang aku pegang kuletakkan di tempatnya. Masih terdengar juga suara itu. Aku matikan kran air, barulah jelas kalau itu suara Mbak Warni. “Ada apa Mbak”, teriakku dari dalam kamar mandi. “Nanti Mas Rio disuruh menemui ibu”, kata Mbak Warni. “Alamak, pasti nagih uang kos bulan ini”, pikirku. Tanpa sadar aku membuka pintu kamar mandi, melongok keluar, “Nagih uang bulan ini ya Mbak”. “Oh..anu….eeee.. iya Mas Rio”, jawab Mbak Warni gugup. Warni kaget karena aku muncul di pintu kamar mandi dengan keadaan masih basah. Sengaja kusembunyikan tubuhku, hanya melongokkan kepalaku saja. Tapi itu cukup membuat Mbak Warni gugup. “Hehehehe..”, aku pandangi Mbak Warni, ia tampak menunduk sambil memegang gagang pel, tapi matanya melirik ke arah pintu kamar mandi, seolah-olah membayangkan apa yang ada di balik pintu itu. “Eehh.. anu, saya mau balik ngepel lagi ya Mas”, katanya memecah keheningan. “Iya Mbak, sampaikan pada ibu saya lagi mandi. Tanggung nih”, jawabku sambil tersenyum, “Rasain Mbak Warni, kena juga dia kuisengin”. Keluar dari kamar mandi aku lihat Mbak Warni masih mengepel lorong kos-kosan. Melihat aku, dia kembali tertunduk seolah masih merasa malu. Tapi aku tahu dia sedang tersenyum sendiri. Setelah berganti pakaian, aku mengambil dompet dan mengambil uang untuk bayar kos bulan ini. Lalu aku keluar kamar dan turun ke rumah ibu kos. Memang kos-kosan aku ada di lantai dua. Pemilik kos, Ibu Halimah dan suaminya serta Mbak Warni tinggal di bawah. Ibu Halimah belum mempunyai anak meskipun sudah 10 tahun berumah tangga. Suami Ibu Halimah ada sopir travel yang biasa membawa turis-turis dari Surabaya ke Denpasar. Aku masuk lewat dapur, aku lihat Mbak Warni sedang mengiris sayur-sayuran untuk dimasak.
“Mbak Warni, mana ibu?”, tanyaku.
“Mungkin di ruang TV mas, tapi Mbak juga ndak yakin, kok sepi ya”, jawab Mbak Warni sambil berdiri.
Aku bergegas masuk ke ruangan tengah, lalu menengok kiri dan kanan. Sepi sekali, tidak ada suara TV, radio atau apapun. Aku kembali ke dapur. “Nggak ada siapa-siapa Mbak”, kataku pendek. “Mungkin keluar Mas, nanti aja Mas Rio kembali ke sini”, kata Mbak Warni. Aku kembali berjalan ke tangga. Tiba-tiba aku dengar suara bergemuruh, waduh, ternyata hujan turun dengan derasnya. Kalau begini caranya, malas aku pergi ke kampus. Aku kemudian duduk-duduk di teras kos-kosan sambil membaca koran.

Lima belas menit kemudian aku mendengar pintu pagar dibuka. Aku melongok ke bawah. Ternyata Ibu Halimah datang dalam keadaan basah kuyub. Tergesa-gesa ia membuka dan menutup pintu, lalu dia lari masuk ke dalam rumah. Aku kembali mebuka-buka koran itu. 10 menit kemudian aku turun tangga dan kembali masuk lewat dapur. Memang ujung tangga ini berakhir di dapur. Di sinilah semua anak kos mengambil air atau membuat mi instan. Kalaupun masuk ke dalam rumah Ibu Halimah, paling-paling cuma untuk membayar uang kos. “Sekarang keadaan sepi sekali, kemana pula Mbak Warni?” pikirku. Aku berjalan pelan-pelan masuk ke dalam rumah. Kudengar suara orang bercakap-cakap, rupanya suara itu berasal dari kamar. Aku berjalan menuju kamar yang pintunya terbuka sedikit. Aku melongok dari kejauhan, siapa tahu Ibu Halimah ada di dalam. “Haahh…..”, pekikku dalam hati. Aku melihat Ibu Halimah sedang tengkurap tanpa memakai baju atas, bagian bawahnya hanya memakai handuk. Mbak Warni juga ada di sana. Rupanya Ibu Halimah sedang dikerokin Mbak Warni. Mungkin masuk angin setelah kehujanan tadi. Aku hanya terdiam mematung, menelan air liurku memandangi dari kejauhan punggung yang begitu putih mulus dan sekarang agak memerah itu. Karena aku melihat Ibu Halimah dari samping, aku juga bisa melihat gundukan diantara punggung dan kasur itu. “Wow…. Benar-benar menggiurkan dada itu”, piktorku semakin menjadi-jadi. Ingin aku merabanya. Tanpa kusadari, adik kecilku mulai menggeliat setelah mengetahui pemandangan yang baru sekali ini aku lihat di rumah ibu kosku. Aku tetap terdiam sambil melihat Ibu Halimah dan Mbak Warni bercakap-cakap. Sesekali mereka tertawa-tawa. Untungnya mereka berdua tidak sedang menghadap pintu. Kakiku sampai kesemutan karena menjaga posisiku supaya tidak ketahuan mereka. Tiba tiba kulihat Ibu Halimah seperti akan bangun, aku kaget dan segera berjalan cepat-cepat menuju ke dapur, lalu naik ke tangga. Lalu aku duduk di tangga sebentar untuk mengambil napas. Tiba tiba Mbak Warni datang,
“Mas Rio, ngapain duduk di situ?”.
“Hah, eh Mbak Warni, nggak ada apa-apa. Tadi maunya bayar uang kos ke Ibu, tapi…….”, aku tidak meneruskan kata-kataku.
Mbak Warni mengernyitkan dahi, “Hayo tadi Mas Rio lihat apa, pasti ngintip ya. Untung tadi nggak ketahuan saya”, cecarnya.
“Iya Mbak, ngintip emang untung hehehe….”, jawabku sekenanya.
“Sekarang saya nanya, tadi Mbak Warni bayangin apa pas di kamar mandi tadi”, ganti aku nanya.
“Eh.…, Mas Rio mengalihkan pembicaraan”, tanya Mbak Warni sambil menunduk. Kulihat dia tersenyum-senyum sendiri. “Nah lo, kena kau”, pikirku.
“Emang nggak pernah lihat gituan ya Mbak?”, tanyaku sambil tersenyum. Mbak Warni yang masih menunduk menjawab,
“Ya sudah Mas Rio, saya kan sudah kawin, kawin muda, tapi terus ditinggal suami kawin lagi”. Jawabnya sambil masih tersenyum.
“Mbak kok cerita sambil tersenyum?”, tanyaku penuh selidik.
“Ah, nggak Mas, cuma teringat-ingat sama suami saya kalo lagi di kamar”, jawabnya.
“Edan wong iki, cerita gituan kok sama aku”, pikirku. “Kenapa Mbak, masih kepingin ya”, tanyaku.
Ganti aku yang tersenyum. “Ah, Mas. Saya jadi malu. Ee… saya balik ke dapur dulu ya”, kata Mbak Warni memecah kesunyian.
“Lho, Bu Halimah mana Mbak? Apa pergi lagi?”, tanyaku sambil menuruni tangga.
“Ibu tidur Mas, habis dikerokin tadi langsung tertidur. Mas Rio ndak usah kesana lagi, ndak ada yang bisa diintip, pintunya sudah saya tutup”, katanya sambil cekikikan.
“Kebetulan Mbak, kalo Ibu Halimah tidur dan pintunya ditutup, gimana kalo…….”, aku menghentikan kata-kataku.
“Ah jangan Mas, nanti kalo ketahuan Ibu ndak enak”, Mbak Warni menjawab sambil tersenyum. Kesempatan nih, kucing dikasih ikan asin. Segera kuraih tangan Mbak Warni, lalu kutarik supaya dia ikut.
“Ayo Mbak, mumpung sepi. Ibu Halimah tidur, sekarang juga hujan, sayang kan kalo dingin-dingin gini sendirian”, kataku kepada Mbak Warni. “Saya takut Mas”, Mbak Warni menjawab sambil menarik tangannya. Kurasakan tarikan itu tidak sepenuh hati, tapi kulepaskan juga. Mbak Warni bergegas masuk ke kamarnya yang ada di sebelah dapur. Kuikuti langkah Mbak Warni dari belakang. Dia melongok keluar sebentar, lalu menutup pintu itu. “Mas, gimana ya, saya takut kalo ketahuan Ibu Halimah. Masak pembantu main sama anak kos”, katanya sambil berbisik-bisik. “Ah Mbak, nggak usah dipikir, masak saya juga ngomong sama Ibu”, kataku.

Segera kutarik Mbak Warni, dia kelihatannya pasrah aja. Kurebahkan dia di tempat tidur. Kuciumi bibirnya. Mulanya dia diam saja seperti kelihatannya ragu-ragu. Aku duduk disampingya, kulepas semua celanaku sehingga sekarang dia bisa melihat isinya. Kulihat dia melirik-lirik agak malu. Kupegang tangannya dan taruh di batangku. Segera dia memegang batangku dan mengusap-usapnya. “Oohh…… enak sekali rasanya”, pikirku. Lalu aku singkapkan rok Mbak Warni, kulihat celana dalamnya yang berwarna putih itu. Bagian selangkangannya sudah kelihatan basah. Segera kuletakkan jari telunjukku ke tempat yang basah itu, lalu kugerakkan naik turun.
“Aauuw… Mas Rio…. Ahhh…ahhh”. Kulihat Mbak Warni mengangkat punggungnya sebentar, rupanya gesekanku mengenai clitorisnya. Kugesekkan jariku pelan-pelan ke celana dalam itu. Bibirnya digigitnya berulang kali. Kemudian tangan kananku kutarik dari balik rok, aku meraih dasternya, kubuka cepat-cepat sampai lepas. Sehingga nampaklah dua buah bukit yang putih, bersih dan menantang itu. Segera pula kulepaskan tali BH itu dan kulempar ke lantai. Sekarang bukit itu kelihatan jelas, putingnya mancung dan ketika kupegang, ternyata sudah keras. Sekarang aku berpindah ke celana dalamnya, aku tarik dengan paksa CD itu sampai terlepas dari kedua kakinya. Kini aku bisa melihat tubuh polos Mbak Warni dari kepala sampai ujung kaki. Mata Mbak Warni masih terpejam, kelihatannya masih malu dia. Tapi dia masih belum melepaskan tangannya yang sedari tadi berada di batang kemaluanku. Kulepaskan tangannya, lalu aku berpindah diantara dua kakinya. Kulihat selangkangan itu ditumbuhi rambut-rambut halus dan rapi. Rupanya dia masih rajin merawat daerah pribadinya. Aku raba kemaluannya dengan jari telunjukku lagi. “Ohhh… Mas Rio”, kembali dia berteriak lirih. Tangannya meremas sprei, kepalanya diangkat melihat ke arahku sebentar, lalu dia rebah lagi. Aku gesek-gesekkan jariku ke clitorisnya naik turun, sesekali masuk ke lubang yang basah itu. Mbak Warni berteriak kecil sewaktu jariku sedang masuk ke lubang itu. Setelah jariku puas bermain, kepalaku mulai aku turunkan mendekati selangkangan Mbak Warni. Mbak Warni kaget,
“Mas Rio mau ngapain?”, katanya sambil bangun dan duduk.
“Udah Mbak, diem aja, ayo berbaring lagi”, kataku sambil memegang kedua kaki Mbak Warni.
“Mas, jangan mas…, saya diapakan?”, sambungnya. Aku tidak menjawabnya. Wajahku mendekat ke Miss V itu. Kucium aroma khas di situ. Kuarahkan ujung lidahku ke miss V, kutempelkan ke clitorisnya dan kujilati naik turun. Kembali Mbak Warni kaget. Punggungnya kembali diangkat, dari mulutnya cuma keluar kata-kata
“Aaaaaaaa… uuhh….. sssshhh….ahhhh” berkali-kali. Kulihat tubuh Mbak Warni menghentak-hentak. Kedua tangannya bermain-main di putingnya. Dipilin-pilin, dipijit, lalu diremas-remasnya buah dada itu. Lidahku semakin masuk ke dalam lubang Miss V, kuputar-putar lidahku, kujilati dinding Miss V itu, naik ke clitoris, kusapu biji kecil itu, lalu turun lagi ke Miss V. Kulakukan berkali-kali sampai kurasakan Mbak Warni mengejang beberapa kali.
Aku lalu bangun, ”Ayo Mbak gantian”.
“Gantian apanya Mas Rio”, tanya Mbak Warni bengong.
“Ganti aku yang rebahan, Mbak Warni duduk aja diantara kakiku”, kataku sambil merebahkan diri. Mbak Warni bangun lalu duduk diantara kedua kakiku persis seperti yang aku katakan tadi.
“Trus saya mesti ngapain mas?”, tanya Mbak Warni.
“Saya kalau main tindih-tindihan sama suami dulu ndak pernah aneh-aneh seperti Mas Rio tadi, pokoknya langsung ditusuk… bless gitu Mas”, sambungnya sambil tersipu.
“Mbak Warni pegang aja itu punyaku seperti tadi”, kataku sambil tertawa. “Polos banget orang ini, padahal kalau dia bicara seperti orang yang makan sekolah. Mungkin kebanyakan nonton sinetron”, pikirku sambil tersenyum.
“Nah, gimana rasanya Mbak Warni?”. “Kagok Mas, ndak pernah kalo disuruh mainan manuk gini”.
Aku tertawa, “Sekarang Mbak Warni membungkuk, trus itunya saya dijilatin Mbak”. “Wah, dijilatin Mas, memang rasanya kayak es krim?”, kata Mbak Warni. Tapi dia menuruti kata-kataku, sekarang lidahnya pelan-pelan menjilat-jilat batang kemaluanku. Terasa nikmat sekali meskipun terasa agak kaku.
“Nah, gitu Mbak, sekalian kepalanya juga ya, dijilatin pisan. Gimana rasanya Mbak? Enak nggak?”, tanyaku.
Mbak Warni hanya diam, lidahnya yang dari tadi berputar-putar di bagian batang, sekarang naik ke kepala “adikku”, dijilat-jilat memutar dari bagian bawah sampai atas. Tangannya memegang batang kemaluanku dengan mantab.
“Nah, kalo sudah jilat-jilat, coba sekarang dimasukkan mulut Mbak Warni”, kataku.
“Ndak mau Mas, kan kotor. Manuknya mas itu kan tempat pipis”, kata Mbak Warni malu-malu.
“Nggak apa-apa Mbak, tadi saya juga gitu kan, jilati punya Mbak.
“Coba saja, kalo ndak kuat ya ndak usah diteruskan”, kataku. Lalu Mbak Warni membuka mulutnya, mengarahkan batang kemaluanku ke mulutnya, kelihatannya pas banget. Lalu dia sedot-sedot, mirip ketika makan es krim dulu. Aku kegelian. Kemudian dia mulai menyorongkan kepalanya maju sampai batang kemaluanku seperti habis ditelannya, lalu kepalanya ditarik lagi, dimajukan lagi.
"Uhhh…… nikmatnya, Ayo Mbak teruskan kalo bisa”. Berkali-kali batang kemaluanku keluar masuk mulutnya. Setelah kulihat Mbak Warni mulai kecapekan, kuminta dia berhenti.
“Mbak, sekarang Mbak diatas ya”. Lalu segera Mbak Warni mengangkang, kemudian mengambil posisi jongkok di dekat perutku. Kupegang batangku,
“Mbak, pantatnya diangkat sedikit”. Mbak Warni menurut. Setelah diangkat sedikit, kuarahkan batang itu ke Miss V nya. Dengan sekali hujam, masuklah semua batang itu ditelan Miss V Mbak Warni.
“Ohhh……Mbak, sesak sekali………uuhhhhh”, ternyata Miss V Mbak Warni sudah lama tidak merasakan kenikmatan lelaki, sampai lubangnya sempit banget.
“Aaauuw… Mas Rio, aku kena tusuk.. auuhh….uuuhhhh”, pekik Mbak Warni.
Tubuh Mbak Warni naik turun karena aku dorong naik turun. Matanya merem melek, kedua telapak tangannya memegang lututnya. Tubuhnya berguncang-guncang. Dadanya bergoyang-goyang saking padatnya. Aku tidak menyia-nyiakan pemandangan itu. Kupegang puting dada Mbak Warni, kupilin-pilin, kugesek-gesek dengan tangan, kemudian kuremas-remas dada ber-cup C itu. Semakin cepat hentakanku. Kelihatannya Mbak Warni menahan jeritannya supaya tidak terdengar dari luar.
“Aaaaaaa.. uuuuuhhh….”. Puas berada di bawah, aku cabut batangku dari Miss V-nya. Aku lalu bangun, kurebahkan Mbak Warni di ranjang yang mungil itu. Mbak Warni kelihatannya sudah nampak lemas, tapi aku tidak peduli. “Mumpung sepi”, pikirku. Aku duduk diantara kaki Mbak Warni, kupegang dan kubuka kedua kakinya, lalu kusorongkan badanku mendekati selangkangan Mbak Warni. Kupegang “adikku” dan kuarahkan ke Miss V yang basah itu. Sekali dorong, masuklah ia sampai ke pangkal batang.
“Uuuuuhhhh…. Mas Rio….pelan-pelan…..keras sekali..”, Mbak Warni bersuara sambil mendongakkan kepalanya.
Kuluruskan kakiku ke belakang, tangannku berada di sebelah pundak Mbak Rani, mirip orang push-up, dan segera pinggulku kugerakkan naik turun. Tubuh Mbak Warni bergerak naik turun mengikuti irama ayunanku. “Ahhh.. Mas Rio… kena itu Mas.. aaaa.. ayo Mas.. eeehh”. Kudengar napas Mbak Warni mulai tersengal-sengal. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan berkali-kali. Aku pun mulai tersengal-sengal. Kupercepat gerakan pinggulku.
“Uhh…uhh..”, suaraku terdengar pelan. Lama kelamaan gerakanku semakin cepat…. “Aaaaaa….eehhh…eeehhh, Mas Rio… ayo Mas….. cepetin lagi…”, Mbak Rani berkata lirih. Kulihat matanya terpejam, mulutnya terbuka seperti orang kehausan.
Akupun mempercepat ayunan pinggangku.
“Ooohh…ooohh…”, suaraku pun tak tertahan lagi. Miss V yang sempit itu menjepit batang kemaluanku dengan rapatnya. Aku sudah merasa akan segera ejakulasi, tapi dengan segera, aku keluarkan batangku.
Mbak Warni melihatku, “Kenapa Mas? Ada orang di luar ya?”, tanyanya sambil bangun.
“Nggak Mbak, sekarang Mbak Warni ambil posisi kayak lagi ngepel ya”, kataku.
Mbak Warni segera mengubah posisinya. Rupanya dia tahu apa maksudku.
“Ini saya mau diapain lagi?”.
“Udah Mbak, liat aja. Ini namanya doggy style”, jawabku. Setelah dia menungging, aku kembali mengarahkan batangku ke lubang Miss V. Sekali tusuk, kepala batang kemaluanku sudah hilang ditelan Miss V nya. “Aaahhh….Mas Rio, masuknya dalam nih… ahh”, Mbak Warni bersuara lirih. Aku diam saja. Kupegang pinggul Mbak Warni lalu kudorongkan tubuhku dan kutarik pinggulnya supaya batangku bisa keluar masuk. Kali ini sensasinya berbeda. Aku tarik, lalu kudorong lagi pelan-pelan. Kudengar samar-samar suara Mbak Warni terengah-engah.
“Mbak, kalau capek, kepalanya taruh di bantal Mbak”, bisikku. Mbak Warni menurut. Lalu kudorong lagi seperti sebelumnya, enak sekali. Bagian atas Miss V itu seperti menekan batang kemaluanku. Lama kelamaan Miss V itu semakin berkedut-kedut.
Ocehan Mbak Warni juga terdengar terus, “aaa..eeaaa….ooohhhh….ooohhhh”. Kelihatannya Mbak Warni sudah orgasme. Aku segera mempercepat doronganku.
“Huuhh…huhhh… aaahhh…ahah”. Ayo Mbak, pijit-pijit lagi aahhh…ahhh”, kataku pelan. Mbak Warni sudah agak lunglai sampai aku harus memegangi dan menjaga pinggulnya agar tidak ambruk. Makin lama makin cepat… kudorong kutarik berulangkali sampai akhirnya…. “Mbak…..aku mau…. aaggghhh…..”, kataku sambil cepat mencabut batang kemaluanku. Kuarahkan ke pantat Mbak Warni sambil kukocok-kocok. Cairan putih kental menyemprot dengan derasnya beberapa kali ke pantat Mbak Warni.
“Aaaaaah…Mas Rio, hangat rasanya”, kata Warni sambil mencoba menoleh, menengok apa yang terjadi. Aku tetap mengocok batangku sampai tidak ada lagi sperma menetes. Aku gesek-gesekkan kepala kemaluanku di pantat Mbak Warni. Setelah puas, aku lalu merebahkan diriku ke samping Mbak Warni.
Aku bertanya, “Gimana Mbak rasanya setelah lama nggak begituan?”. “Ah Mas Rio, saya jangan ditanya gitu, malu mas”, jawab Mbak Warni tersipu.
“Kapan-kapan mau lagi Mbak kalo sepi, hehehe”, kataku nyengir. Mbak Warni cuma tersenyum, lalu bangun dan mengelap pantatnya dengan daster yang tadi dipakai.
“Udah Mas, saya mau nyapu dulu, saya kuatir Ibu Halimah nyari saya”. Aku segera berpakaian, lalu membuka sedikit pintu kamar, celingak-celinguk, siapa tahu ada orang. Setelah tahu keadaan sepi, aku segera lari ke tangga, menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi sambil senyum-senyum sendiri kayak orang gila.

Tidak ada komentar: