Minggu, 28 Oktober 2007

Ibu Kos dan Pembantunya (Bag. 2)

Pulang makan malam di warung samping kos-kosan, aku masuk lewat pintu garasi. Sayub-sayub kudengar suara televisi dari ruang utama. “Rupanya Ibu Halimah sedang nonton TV”, gumamku. Aku lalu masuk ke dapur dan menuju ruang utama. Kulihat TV sedang menyala tetapi tidak ada orang. Aku diam sejenak sambil menengok kiri kanan mencari Ibu Halimah. Kudengar suara air di kamar mandi, apa Ibu Halimah mandi ya. Pikiran kotorku kambuh. Aku berjalan menuju kamar mandi sambil mengendap-endap. Kulihat dari bawah pintu, lampu kamar mandi menyala. Segera aku mendekat ke lubang kunci, kulihat seseorang tengah mandi. Suara guyuran air terdengar beberapa kali, tai masih belum nampak siapa yang mandi. Suara air tiba-tiba berhenti, barulah aku bisa melihat sekelebat orang lewat mengambil sabun, persis lurus dengan lubang kunci. Wow, aku hapal dengan tubuh itu, nampak punggung yang bergaris-garis merah sedang disabun, bekas kerokan. Lalu tubuh itu menghadap ke kiri sehingga aku bisa melihat bagian sampingnya.
“Hmm…. Putih dan mulus juga tubuh Ibu Halimah, masih kenceng pantatnya. Iya sih, dia kan belum punya anak”, gumamku sambil tersenyum.
Kulihat payudaranya sedang diusap oleh sabun dan tangan Ibu Halimah. Payudara itu nampak kenyal sekali. Putingnya masih kemerahan, tidak terlalu jelas, sebab dari samping. Lama juga Ibu Halimah bersabun, nampaknya dia menikmatinya. “Andai saja aku jadi sabunnya”, pikirku. Lalu Ibu Halimah menghampiri tempat sabun lagi, mengambil sebuah botol dan menuangkan isinya ke tangan. “Apaan tuh”, pikirku. Lalu cairan itu dioleskannya ke selangkangannya. Kebetulan sekarang tubuh itu menghadap ke pintu, sehingga aku bisa melihat lebih jelas lagi seluruh tubuh depan Ibu Halimah. Rupanya itu sabun khusus wanita. “Hmmm… ternyata Ibu rajin juga merawat daerah pribadinya”. Kulihat dia menggosoknya lumayan lama. Tangannya naik turun di sekitar selangkangannya. Kedua kakinya agak membuka, wajahnya sesekali menengadah, matanya terpejam, lalu menunduk lagi. Ibu Halimah bersandar di tembok kamar mandi. “Oooo.. rupanya Ibu Halimah sedang masturbasi”, gumamku. Kurasakan kakiku semakin kesemutan saking tegangnya. Tanpa sadar, adikku juga mulai menggeliat melihat pemandangan itu. Kudengar samar suara Ibu Halimah, seperti menikmati betul usapan itu. Kini terlihat jelas dua payudara yang masih padat berisi itu, jelas putingnya kemerahan pertanda jarang sekali dijamah suaminya. Bulu selangkangannya lebat sekali, kontras dengan kulitnya yang putih. “Kasihan Ibu, andai saja aku bisa jadi pengganti suaminya, pasti nggak akan berangkat kerja aku”, pikirku sambil tertawa. Makin lama gerakan tangan ibu makin cepat, rupanya jarinya masuk ke lubang Miss V. “Ohhh.. oohh…”, terdengar suara Ibu Halimah semakin keras. Aku makin mendekatkan mataku ke lubang itu.


Tiba-tiba…. Klik…. Pintu itu terbuka!!!! Aku kaget setengah mati, wajahku pucat.

Rupanya pintu itu tidak terkunci. Kulihat Ibu Halimah kaget dan panik. Tangan kanannya segera menutupi dadanya sedangkan tangan kirinya di selangkangannya. Lalu dia bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badannya.
“Oh, Ibu… maaf….., saya……”, kataku gemetar.
Ibu Halimah melotot, wajahnya merah. Lalu dia segera keluar dari kamar mandi dan menuju kamarnya.
“Sini Rio!”, kata Ibu Halimah tanpa menoleh ke aku. Aku takut sekali waktu itu, tapi aku menurut saja. Aku berjalan di belakang Ibu Halimah. Sampai di kamar Ibu Halimah mengambil piyama, lalu mengenakannya. Aku tidak nampak apa-apa karena dia membelakangiku.
Aku kalut, “Bagaimana kalau dikeluarkan dari kos ini, bagaimana kalau diomeli, bagaimana kalau dilaporkan ke suaminya… aaahhhhh… siaaal…”, teriakku dalam hati.

“Dik Rio, kamu tahu apa yang kamu lakukan tadi itu tidak sopan dan kurang ajar?”, Ibu Halimah bertanya pelan, tapi kurasakan marah sekali dia.
Dia lalu berjalan di dekat ranjangnya. “Iya Bu, maaf, saya tadi sebenernya mau bayar kos, tapi di dalam sini tadi sepi”, jawabku sambil menunduk takut.
“Tapi kan tidak boleh begitu, bagaimana pun tadi Dik Rio sudah melihat semuanya”, sambung Ibu Halimah.
“Iya Ibu, maaf, saya salah Bu”, sambungku.
“Aaahh…”, kudengar Ibu Halimah menghela napas.
Aku masih tidak berani menatapnya.
“Sekarang sudah terlanjur, Dik Rio sudah tahu apa yang Ibu lakukan di kamar mandi”, dia berkata pelan sambil duduk di ranjangnya.
Tiba-tiba saja aku berpikir sesuatu dan menjawab, “Yang seperti itu normal-normal saja Bu”.
“Apa maksud Dik Rio?”, tanya Ibu Halimah sambil mengernyitkan dahi.
“Maksud saya, yang saya tahu tadi Ibu Halimah menggosok-gosokkan tangan di daerah pribadi Ibu”, kataku.
Raut muka Ibu Halimah berubah, sepertinya sudah mulai tenang dia. “Saya juga sering onani di kamar mandi Bu”, sambungku tanpa malu-malu.
“Lho, Dik Rio kenapa begitu? Kan belum menikah, belum tahu rasanya kan?”, nada bicara Ibu Halimah naik lagi.
“Namanya anak muda Bu, sering lihat di video, jadinya pelampiasannya ya pakai sabun”, aku menjawab sambil tersenyum.
“Gimana lagi ya Dik, suami Ibu pulangnya tidak pasti, padahal kan Ibu juga wanita normal. Tahu kan maksud Ibu?” Aku menjawab, “Iya bu, saya tahu”.

“Terus gimana bu? Saya mau bayar uang kos bulan ini”, aku mulai mengalihkan pembicaraan. “Kebetulan tadi saya sebenernya mau ke ATM, uang di dompet sudah menipis Dik. Bapak ndak jadi pulang hari ini. Dia lagi kena macet di Gilimanuk, mungkin 2 hari lagi baru sampai. Makanya pas sekali Dik Rio bayar uang, saya tadi sampai masuk angin karena kehujanan”. Ibu Halimah menjelaskan.
“Iya, saya tahu Ibu kerokan tadi”, kataku. “Lho, tahu darimana Dik”, potong Ibu Halimah. “Mati aku, salah lagi”, “Eh..oh.. eee… maaf, tadi siang saya sudah masuk ke sini. Saya lihat Ibu dikerokin Mbak Warni”.
Kulihat raut muka Ibu Halimah memerah, rupanya malu dia. “Maaf lho Dik, pintunya lupa ditutup sama Warni”, kata Ibu Halimah tersipu. “Nggak apa-apa bu, kebetulan”, kataku dalam hati sambil tersenyum.
Lalu aku menyodorkan uang ke Ibu Halimah. “Bapak itu memang jarang pulang, jadi setiap hari saya cuma ditemani Warni. Makasih ya Dik”. “Iya Bu, sama-sama”, kataku singkat. “Kasihan si Warni itu, dia ditinggal lari sama suaminya, padahal dia itu masih muda lo, baik, pintar masak. Semua yang dia alami pasti cerita ke saya”, kata Ibu Halimah sambil tersenyum.
“Gawat, jangan-jangan……….”, aku berpikir sambil mengernyitkan dahi. Aku lalu balik keluar dari kamar Ibu Halimah. “Eh Dik, kuitansinya nanti saya titipkan Warni ya”, kata Ibu Halimah tiba-tiba. “Iya Bu, nggak masalah”, jawabku. Aku terdiam membayangkan sesuatu,”Kalo Ibu Halimah rasanya gimana ya? Pasti lebih ok. Organ kewanitaannya dijaga banget, jadi penasaran”.


“Sst…!”, tiba-tiba ada suara membuyarkan lamunanku. Aku segera menoleh ke arah kamar Ibu Halimah. Kulihat Ibu Halimah mengerlingkan matanya ke arahku. “Alamak, pertanda apa lagi ini. Cepat sekali setan mengerti pikiran kotorku”, pikirku. Kemudian Ibu Halimah melambaikan tangannya seperti memberi tanda aku untuk masuk kembali ke kamarnya. Tanpa menunggu lama, aku lalu masuk ke kamar tiu lagi sambil tersenyum-senyum. Ibu Halimah lalu berjalan ke pintu dan mengunci pintu kamarnya. Kemudian dia duduk di tepi ranjang dan tersenyum ke arahku.
Aku mulai mendekati Ibu Halimah, dan mengambil posisi duduk dibelakangnya. Kuciumi lehernya, kudengar Ibu Halimah mendesah, aku tak peduli. Leher itu aku jilat-jilat dengan lidahku. Kedua tanganku selanjutnya bergerak menuju bagian dada Ibu Halimah. Kupegang dan kuraba-raba dengan lembut. Ibu Halimah kembali mendesah, “Ahhh… Dik Rio…..”. Lambat-lambat mulai aku remas-remas dada itu pelan-pelan. Adik kecilku mulai bangkit sampai aku perlu membetulkan letak dudukku. Tanganku yang lain kemudian meraih ujung daster Ibu Halimah, kusingkap sampai paha yang aku lihat kemarin terpampang di depanku. Kuusap paha bagian dalam dengan tangan kananku mulai dari lutut sampai mendekati selangkangannya. Ibu Halimah cuma menggeliat diperlakukan semacam itu, dia bersandar ke tubuhku seolah-olah pasrah dengan apa yang aku lakukan. Jariku kemudian menyusup diantara celana dalam, mencoba meraih sesuatu. Sampai kemudian aku menemukan sesuatu yang basah. Jari telunjukku lalu mengusap-usap bagian yang basah itu. Ibu Halimah kembali mendesah, “Aaww.. kena itu Dik”, kata Ibu Halimah sambil bergetar tubuhnya.


Tak menunggu lama, aku merebahkan tubuh Ibu Halimah ke ranjang. Kakinya kutarik sampai ke bibir ranjang, lalu kutarik celana dalam itu sampai lepas. Kulipat kedua lututnya sehingga posisi selangkangannya menghadap aku. Aku duduk bersimpuh di lantai dan kepalaku lurus dengan Miss V yang ditumbuhi bulu lebat itu. Hmmm…. Baunya wangi sekali, ada bau sirih juga. Tak salah apa yang aku lihat kemarin itu. Tanganku melingkari kaki Ibu Halimah dan memegang pangkal pahanya. Lalu segera aku julurkan lidahku ke Miss V itu, kujilati sambil mencari dimana clitoris yang tadi sudah aku raba.
“Ooooooooohh…………… uuhhh, enak sekali..”, Ibu Halimah berkata lirih. Tangan Ibu Halimah mencengkeram dan menarik sprei hingga acak-acakan. Aku tetap menjilati bagian vital itu mulai bagian bawah miss V, naik ke lubang V, terus naik sampai ke clitorisnya. Aku mainkan lidahku di biji kecil itu. Suara Ibu Halimah semakin menjadi, kepalanya menengadah, tangannya mencoba meraih dan menjambak rambutku, punggungnya terangkat dan napasnya tersengal-sengal.
“Aahhh… sshhh……. Oohh… kakiku kesemutan Dik. Ayo teruskan…..”, Ibu Halimah berkata lirih. Kini kedua kakinya menjepit kepalaku. Kurasakan kedua kaki itu gemetar seperti menahan sesuatu. Lidahku kini aku tusuk-tusukkan ke lubang Miss V. Lubang itu sudah becek, air liur bercampur cairan dari dalamnya.


Ibu Halimah tiba-tiba berkata, “Ayo Dik, mana punyamu, Ibu pengen merasakan”. Lalu Ibu Halimah bangun, meraih celanaku dan melepasnya cepat-cepat. Aku tak mau kalah, kulepas daster itu kemudian BH itupun tak lama kemudian kulempar ke lantai. Sekarang giliran aku yang rebah di ranjang Ibu Halimah. Kakiku kubuka, dan Ibu Halimah dengan cepat membungkuk dan memegang batang kemaluanku dengan tangannya. Kelihatan sekali Ibu Halimah sangat merindukan saat-saat bersama dengan suaminya. Dia nampak begitu beringas. Dimasukkan seluruh batang kemaluanku ke mulutnya. Tangan satunya nampak asik bermain-main dengan biji dibawah batang itu. Aku hanya diam dan menikmati semua sensasi itu. Sesaat dikeluarkan dari mulutnya, kemudian dimasukkan lagi. Dihisap-hisapnya batang itu seperti menghisap es krim. Aku merasakan kedutan dari mulut Ibu Halimah saat dia memasukkan semua batang itu ke mulutnya. Pandai juga Ibu Halimah melakukan oral. Aku berusaha untuk duduk, tanganku berusaha meraih buah dada ranum yang menggantung itu. Kuremas-remas kedua buah dada itu, kupegang putingnya, kuputar-putar puting yang keras itu. Ibu Halimah rupanya sangat menikmati saat karaoke ini sampai tidak merasakan rabaan tanganku. Tangan Ibu Halimah sudah basah oleh air liurnya. Aku kembali merebahkan diri, kini batang kemaluanku sedang dikocok Ibu Halimah. Pelan-pelan dia mengocoknya.
“Hmm… kok bisa persis saat aku onani ya. Apa dia juga pernah mengintipku?”, tanyaku dalam hati. Kini tangan kanan Ibu Halimah memegang batang kemaluanku dan bergerak naik turun berulang kali.
"Oooouch… sshhhh…, iya bu teruskan Bu…”, kataku. Enak sekali rasanya, sensasinya lain dengan waktu aku onani.
Ibu Halimah tersenyum. Matanya tidak lepas dari batang kemaluanku. Dimain-mainkannya sebentar, dijilat kepala batangku, lalu dikocok lagi. Dijilat lagi lubang kencingku, aku cuma bisa diam keenakan. Ibu jarinya bergerak mengusap bagian bawah batang itu. Mata Ibu Halimah memandangku, seperti mata harimau betina yang kelaparan.


Ibu Halimah menghentikan kocokannya. Badannya kini berada diatas perutku. Aku tahu, dia kepingin posisi woman on top. Maka aku pegang batangku kemudian mengarahkannya ke miss v Ibu Halimah. Ibu Halimah sedikit menurunkan pinggulnya, dan kemudian, bleesss…. Sudah tak nampak lagi batang kemaluanku, semua sudah ditelan oleh miss V Ibu Halimah. Ibu Halimah kemudian bergerak naik turun, matanya terpejam.
“Ohhhh… aahhhhh….. akhirnya Dik Rio… kesampaian juga hasrat Ibu, aaahhh…”, kata Ibu Halimah.
Aku hanya tersenyum. Tubuh Ibu Halimah masih bergerak naik turun. Tanganku kembali menggapai dada Ibu Halimah dan meremas-remasnya, putingnya kutarik-tarik pelan. Kuremas lagi, buah dada dan putingnya kini semakin mancung, membuat aku bertambah gemas. Kutarik badan Ibu Halimah sampai kini dada itu berada tepat di depan mataku. Segera aku naikkan kepalaku dan kumasukkan puting itu ke mulutku, kusedot-sedot layaknya anak kecil. Ibu Halimah sangat menikmatinya sampai tubuhnya berhenti bergoyang. Aku kemudia berinisiatif, pantaku kuangkat sedikit, dan kemudian kudorong sampai batang kemaluanku masuk ke dalam miss V. Ibu Halimah kembali menjerit,
“Oooohhhh…… teruskan Dik”. Pantatku bergerak naik turun supaya “senjataku” bisa menusuk miss V Ibu Halimah berulang kali. Licin sekali lubang itu, pertanda Ibu Halimah sudah terangsang betul. Makin lama gerakanku kupercepat, Ibu Halimah tersengal-sengal, mulutnya terbuka “oohh… ohhh…sshhh”.
“Sudah mau… ayo Dik, dipercepat lagi”, kata Ibu Halimah.
Aku segera mempercepat goyanganku, semakin lama semakin cepat. Tubuh Ibu Halimah bergoyang-goyang karena gerakan tubuhku. Dada Ibu Halimah pun bergerak-gerak, membuatku semakin panas. Makin lama makin cepat…… sampai akhirnya seluruh tubuh Ibu Halimah bergetar, sesekali seperti orang terkejut, napasnya terengah-engah, tangannya mencengkeram sprei lagi, menariknya. Matanya terpejam, lalu mengejan sebentar. Tanpa sadar, batang kemaluanku terasa berkedut-kedut, enak sekali. Setelah beberapa saat, Ibu Halimah lalu lunglai di atas badanku.

Aku kemudian memindahkan Ibu Halimah ke ranjang, menelentangkannya. Tangannya lurus ke atas. Kakinya aku buka, napasnya masih tidak teratur, perutnya naik turun. Keringat mulai membasahi kulitnya yang mulus. “Dik Rio, aku rindu sekali yang seperti ini”, kata Ibu Halimah. Aku hanya tersenyum. Kuarahkan adikku ke miss V itu kembali, dengan sekali dorong, aku mulai menggoyang Ibu Halimah.
“Aahhhh… besar sekali Dik….”, Ibu Halimah bergumam lirih.
Tubuhnya kembali bergoyang karena doronganku. Kakiku aku lipat seperti bersimpuh. Lututku berada di samping perut Ibu Halimah, dan kakinya dilipat sampai lututnya sejajar dengan siku tanganku. Aku menduduki telapak kakiku sendiri. Tanganku memegang dan menarik tangan Ibu Halimah. Saat aku mendorong batangku masuk, kutarik tangan Ibu Halimah. Aku lakukan berulang kali sampai Ibu Halimah menjerit-jerit keenakan. “Ayo Dik… teruskan… shhh..”, kata Ibu Halimah. Kutatap wajah Ibu Halimah. Sebetulnya tidak terlalu cantik, tetapi tubuhnya yang sintal itu memang membuat aku ingin menikmatinya.


Kini kulepas tangannya. Kaki Ibu Halimah aku luruskan ke atas persis di depanku dan aku sangga dengan pundakku. Pantat dan miss V nya kini sedikit terangkat naik. Batangku masih tak terlihat alias masih ada di dalam Miss V Ibu Halimah. Kakiku kini aku luruskan mirip waktu push up. Aku lanjutkan doronganku. Kini aku bergerak agak cepat. Jeritan Ibu Halimah semakin keras.
“Aaaaaaa….. Dik Rio… seperti masuk sampai ke perut rasanya”, pekik Ibu Halimah.
Aku teruskan gerakan memompa itu. Peluhku pun mulai mengalir bercampur dengan peluh Ibu Halimah. Ranjang itu bergerak-gerak mengikuti ayunan tubuhku. Ibu Halimah kembali tersengal-sengal, tangannya memainkan putingnya sendiri. Diremas-remas dadanya, kemudian berpindah tangannya memegang pinggangku seolah-olah ingin ikut mendorongnya. Aku semakin bersemangat.
“Ohhh… ohhh… sshhh…. ooow…”, suara kami berdua terdengar di kamar itu. “Sudah Dik, ibu sudah mau sampai… oohhh…”, bisik Ibu Halimah.
“Iya bu”, jawabku pendek.
Lalu segera saja aku percepat dorongan batangku, semakin lama semakin cepat, aku mulai merasakan akan ejakulasi, kudorong pinggangku semakin dalam.
Napasku juga mulai tersengal-sengal. Ibu Halimah mengangkat punggungnya, kepalanya menengadah, mulutnya cuma bersuara, “Ohh… oohh.., ayo Dik”. Semakin cepat, dan semakin keras batangku, dan akhirnya kucabut batang itu, kupegang dan aku bangun mendekati Ibu Halimah. Kusemprotkan dan kugesek-gesekkan batang kemaluanku ke payudara Ibu Halimah.
“Aaaaaaaaaahhhhhh……..”, aku memekik panjang.
Sperma itu membanjiri puting kanan Ibu Halimah. Ibu Halimah cuma mendesis, tubuhnya kaku, lalu bergetar. Tangannya mencengkeram pahaku dengan kuat. Aku kocok-kocok batangku sampai sperma itu habis. Aku oles-oleskan ke seluruh payudara kanan Ibu Halimah sambil merasakan ejakulasi itu. Kemudian aku ambruk di sisinya. Ibu Halimah menoleh ke arahku dan kemudian tersenyum. “Makasih Dik Rio, sudah lama Ibu tidak merasakan kenikmatan yang seperti ini”, katanya. Aku balas senyumannya dan memeluk tubuh perempuan itu sambil mengecup pipinya.

Tidak ada komentar: